Jakarta,detiknewstv.com FIFA menutup mata penjajahan dan politik apartheid zionis Israel terhadap palestina dan dalam setiap kesempatan, FIFA selau membela Israel dan mendiskriminasikan Palestina. Dalam sejarahnya pada November 2006 persepakbolaan dunia pernah dicederai/dicorengoleh tindakan militer zionis Israel yang mencegah semua atlet sepakbola Palestina untuk berpartisipasi dalam pertandingan final babak penyisihan grup kualifikasi AFC (Asian Football Confederation). Aksi yang tak mudah untuk dilupakan, aksi diman zionis Israel tidak mengizinkan para pemain dan ofisial tim Palestina berpartisipasi dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2010 melawan Singapura.
Sebelumnya, Israel adalah bagian dari AFF. Kiprah mereka pun cukup baik dengan menjuarai kejuaraan Yunior Asia tahun 1967 dan Juara Piala Asia 1970. Namun, prestasi ini bisa terwujud karena sebagian tim yang melawan mereka memilih untuk walkout atau mengalah.
Bukan karena ada pengaturan skor, tetapi sebagai bentuk permusuhan dan boikot mereka terhadap negara ini dan mendukung perjuangan Palestina. Mereka lebih memilih kalah daripada harus bertanding dengan serius melawan Israel.
Hal ini yang membuat status keanggotaan Israel di AFC dipersoalkan. Mereka tidak menganggap dan tidak ingin nama Israel ada di AFC. Pada 1974, Kuwait membuat proposal untuk mengeluarkan Israel dari AFC. Hasilnya 17 setuju dan 13 menolak, sementara 6 abstain (netral).
Proposal ini tak lain terkait dengan pelaksanaan Asian Games 1974. Kala itu, Kuwait dan Korea Utara terpaksa menolak bertanding, karena lawan yang dihadapi adalah Israel. Dibuang dari AFC, Israel pun bergabung dengan Oceania pada 1974. Namun akibat faktor geografis membuat Israel tak betah. Tim Israel yang harus bepergian jauh untuk partai tandang.
Tahun 1991 sejumlah klub Israel mulai berpartisipasi di kompetisi antarklub Eropa. Mereka pun mengikuti kualifikasi Piala Dunia pada 1992. UEFA akhirnya menampung Israel untuk menjadi anggota pada tahun 1994. UEFA sama sekali tidak menyinggung terkait Israel yang melakukan penyerangan ke Palestina. Padahal, Israel menyalahi statuta FIFA pasal 3
Politik FIFA pun terjadi saat menutut agar semua negara berlaku fair terhadap atlet Israel, padahal Israel sendiri pun tak pernah berlaku fair terhadap atlet dan dunia olahraga Palestina. Bahkan sejak lama militer Israel telah menjadikan bidang olahraga serta para atlet Palestina sebagai target serangan mereka.
Serangan mematikan tentara Israel bukan hanya mengarah pada fasilitas olahraga, tapi juga pada atlet-atlet Palestina. Pada Januari 2009, tiga pesepakbola Palestina, Ayman Alkurd, Shadi Sbakhe, serta Wajeh Moshtaha, tewas oleh serangan Israel di Jalur Gaza. Dua bulan kemudian, Saji Darwish, pemain muda berusia 18 tahun, dibunuh oleh penembak jitu Israel di dekat Ramallah.
Pada bulan Juli, masih di tahun 2009, Mahmoud Sarsak, pemain timnas Palestina, telah ditangkap dan disiksa oleh militer Israel selama tiga tahun. Meskipun pada akhirnya dia dibebaskan, namun masalah kesehatan permanen akibat penyiksaan yang dideritanya selama dalam tahanan Israel telah mematikan karir olahraganya.
Pada 2019, militer Israel menyerang Stadion Al Khader di Betlehem dengan gas air mata, yang mirip dengan Tragedi Kanjuruhan, Malang, tahun lalu. Dan terbaru, pada 22 Desember 2022 lalu, tentara Israel telah menembak mati Ahmad Atef Daraghma, pemain bola dari klub Thaqafi, serta melukai 24 orang lainnya, dalam sebuah serangan dan aksi brutal di kota Nablus, Tepi Barat.
Jadi, sangat tak relevan kalau FIFA membela atlet Israel dengan dalih "fair play". Seharusnya para atlet Israel itu ditagih pertanggungjawaban moralnya atas aksi brutal dan tidak fair yang dilakukan oleh pemerintah mereka terhadap atlet dan dunia olahraga Palestina.
Bahkan FIFA pun dan juga Komite Olimpiade Internasional pernah melarang Rusia dengan memberi sanksi kepada tim nasional asal Rusia untuk tidak berpartisipasi/bertanding dalam pertandingan/turnamen eropa dan internasional hingga waktu yang tidak ditentukan karena permasalahan menginvasi Ukraina, yang juga merupakan bentuk politisasi. Jadi sikap FIFA sendiri tidak menunjukkan bahwa sepak bola terlepas dari politik.
Alasan semua diatas itu sudah cukup menunjukkan selama ini FIFA telah berlaku tidak fair dan menerapkan standar ganda dalam "kebijakan politik" persepakbolaan dunia.
Berdasarkan sejarahnya, FIFA (Federasi Sepakbola Internasional) berdiri karena adanya peristiwa di era kolonialisme kolonialisme Perancis terhadap Aljazair, antara tim dari negara kolonial dan tim dari negara bekas jajahannya. FIFA didirikan oleh beberapa negara-negara kolonial waktu itu antara lain: Perancis, Jerman, Belgia, Denmark, Belanda, Spanyol dan Swedia, termasuk Swiss. Untuk penamaan awal untuk FIFA tersebut adalah berbahasa Perancis: Fédération Internationale de Football Association.
Oleh karena itulah kenapa FIFA secara tidak langsung selama ini memperkuat kekuatan sepakbola secara terhadap eropa, dengan mengalokasikan slot yang dominan terhadap negara-negara eropa dibandingkan negara-negara di benua Asia dan benua Amerika. Saat ini untuk menjadi bagian dari perhelatan olahraga internasional ini, Asia harus menunggu sekitar 98 tahun, Afrika harus menunggu 106 tahun, dan Timur Tengah harus menunggu 118 tahun.
Negara asal tim nasional U-20 Worldcup 2023 yang masuk lolos kualifikasi adalah dari 24 negara, antara lain: ASIA (Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Uzbekistan, Irak), EROPA (Inggris, Perancis, Italia, Slowakia), AMERIKA (Amerika Serikat, Brasil, Ekuador, Kolombia, Republik Dominika, Uruguay, Guatemala, Honduras), AUSTRALIA (Selandia Baru, Fiji), AFRIKA (Nigeria, Gambia, Tunisia, Senegal).
FIFA pada ajang olahraga WORLDCUP U-20, justru terkesan menilai bahwa Bangsa Indonesia menolak keikutsertaan Israel terhadap kegiatan itu, padahal bukan seperti itu, Bangsa Indonesia hanya ingin tim nasional dari asal negara zionis Israel tidak datang dan berlaga di Indonesia karena komitmen kita terhadap dukungan dan konsistensi kepada perjuangan Palestina terhadap bentuk penjajahan dan kejahatan perang yang telah dilakukan oleh zionis Israel.
FIFA terlihat tebang pilih selain mewakili tim nasional asal negara zionis Isarel, mereka memilih korbankan Indonesia demi Israel dan terancam tidak mengikutsertakan pemain timnas U-20 Indonesia berpartisipasi di pentas sekelas Piala Dunia tersebut. Semua itu terkesan ada sebuah skenario yang direncanakan agar Indonesia sebagai bangsa yang hampir 80% lebih berpendudukan agama Islam secara psikis dipermalukan secara halus dengan politiknya FIFA melalui standar ganda yaitu sangat membela kepentingan negara zionis Israel yang kerap memiliki tidak hanya isu sepakbola, namun isu politik dan kemanusian terhadap Palestina dan mengabaikan posisi Indonesia juga pendapat dan aspirasi negara-negara lain yang punya garis politik tegas terhadap Israel. Perhatikan saja bukti bahwa FIFA mendukung Israel salah satunya membiarkannya mengikuti kompetisi ajang kejuaraan eropa sejak 1990 dan turnamen sepakbola UEFA lainnya, pada akhirnya Israel pindah dari AFF kemudian bergabung di UEFA, padahal Israel secara geografis berada di benua Asia.
Indonesia adalah negara yang besar dan bangsa yang menjunjung tinggi perdamaian dunia oleh karenanya penjajahan atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan.
FIFA bukan segalanya, justru INDONESIA adalah segalanya yang memiliki UUD'1945, PANCASILA, dan Bangsanya yang berbhineka tunggal ika yang dan terus manjadi Bangsa yang besar dalam menciptakan perdamaian dunia. Janganlah kita sebagai Bangsa Indonesia berlutut, tunduk dan berjiwa lemah hanya karena FIFA telah membatalkan kita (Indonesia) sebagai tuan rumah kegiatan FIFA tersebut yang hanya karena sebagian rakyat Indonesia menolak kedetangan tim nasional asa Israel ke Indonesia, seakan-akan kita tidak sadar sudah terjajah oleh mereka yang beberapa masyarakat terdoktrin bahwa World Cup U-20 adalah segalanya dan jargon "sepakbolak tanpa politik" digembor-gemborkan dan menyampingkan empati kita terhadap kejahatan zionis Israel pada ketidakadilan dan kezaliman yang terjadi di Palestina, bayangkan jika kalian diposisi mereka, posisi yang tertindas dan kita sesama negeri yang bersahabat dengan bangsa Palestina hanya membiarkan saja dan masuk perangkap permainan politik zionis Israel melalui persepakbolaan dunia.
Jadi sepakbola itu adalah bagian dari politik dan tidak terpisahkan dari politik, dimana keadilan harus tetap terjaga, dan membawa sebuah keadilan itu dalam peraturan, salah satunya Indonesia dan negara-negara merdeka lainnya melalui pendekatan jalur politik dunia dengan memberikan penekanan tegas demi perdamaian dunia terhadap FIFA agar di peraturannya menetapkan sanksi/larangan kepada setiap tim nasional sepakbola yang berasal dari negara/bangsa yang masih/sedang melakukan penjajahan kepada negara/bangsa lain. Setidaknya dan sejatinya yang jelas INDONESIA tetap menjaga harga diri dan reputasi sebuah bangsa yang menjunjung tinggi asas kemanusiaan tanpa perperangan.
Tahun 1957, FIFA pernah menolak permintaan Indonesia agara tim nasionalnya bermain di tempat yang netral saat babak 'playoff' yang akan bertemu dengan tim nasional asal Israel di Piala Dunia 1958. Sehingga, akhirnya Indonesia memilih munduru di laga tersebut. Saat itu Mohammad Hatta (Wakil Presiden RI) pada masanya pernah menyampaikan bahwa FIFA mengizinkan partisipasi Israel pada hakikatnya sama saja sebagai bentuk pengakuan kedaulatan dan legitimasi terhadap penjajahan, itulah sikap anti penjajahan pendiri bangsa Indonesia, bahkan hubungan diplomatik, hubungan lainnya secara resmi di tempat resmi, hingga tidak diizinkannya pengibaran/penggunaan bendera, lambang, dan atribut lainnya serta pengumandangan lagu kebangsaan Israel di wilayah Republik Indonesia.
Sejak 2013, Asosiasi Sepak Bola Palestina (PFA) pernah secara aktif memperjuangkan pengakuan yang mencakup hak-hak yang tercantum dalam Pasal 72.2 Statuta FIFA yang berbunyi: ‘Asosiasi anggota dan klubnya tidak boleh bermain di wilayah asosiasi anggota lain’. Namun pada kenyataanya, FIFA membiarkan klub sepakbola asal Israel yang berbasis di wilayah rampasan pendudukan Tepi Barat - Palestina, bermain di tanah curian mereka, itulah yang membuat banyak pihak mengkritik keberpihakan FIFA terhadap Israel. Jadi, disini, siapakah yang berpolitik?
Di tahun 2023 ini, ramainya penolakan juga terlihat adanya pemanfaatan dari rasa empati masyarakat Indonesia terutama umat muslim terhadap perjuangan Palestina, dimanfaatkan sebagai momentum kepentingan dan keuntungan politik yang mendekati tahun politik Indonesia di 2024, dilakukan oleh beberapa politisi dan kader partai politik besar yang masih menjabat dalam pemerintaah di tingkat provinsi salah satunya: Gubernur Bali (I Wayan 'Koster'), Gubernur Jawa Tengah ('Ganjar' Pranowo).
Sebagai informasi bahwa penentuan Indonesia sebagai pemenang untuk menjadi tuan rumah ajang sepakbola internasional Piala Dunia U-20 oleh FIFA adalah sejak tanggal 24 Oktober 2019. Kemudian, tim nasional U-20 dari Israel dinyatakan lolos masuk kualifikasi Piala Dunia U-20 2023 sejak bulan Juni 2022. Pungkasya.
Tim Redaksi