Massa aksi Solidaritas Mahasiswa dan Rakyat Papua Melawan Rasiswa (RPMR) saat membacakan sikap dan tuntutan di Abepura, Jayapura, Papua pada Selasa 11 April 2023.
Jayapura, Detiknewstv.com - Sejak jatuhnya pemerinatahan Soeharto pada tahun 1998, Indonesia telah memasuki sebuah masa reformasi, masa dimana kebebasan mulai diakui.
Sejarah panjang ketidakadilan dan pelanggaran HAM dilakukan oleh militer Indonesia di Aceh dan Papua, yang menimbulkan keinginan memisahkan diri yang berujung pada pemberian Otonomi Khusus bagi kedua wilayah tersebut.
Masa reformasi 1998 membuka pintu bagi pengakuan terhadap HAM, termasuk juga kemerdekaan berpendapat dan berkumpul.
Pemerintah telah membatalkan undang-undang yang digunakan untuk membungkam kritik dan juga menghapus larangan-larangan yang telah mengungkung kebebasan media massa.
Negara Kesatuan Republik Indoensia (NKRI) memberikan jaminan bagi kemerdekaan berpendapat dan berkumpul dalam Undang-Undang No. 9 tahun 1998 tentang kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, yang mengakui hak untuk berkumpul dengan damai.
Lahirnya reformasi ini juga kemudian memunculkan berbagai gerakan dan organisasi di tanah Papua maupun di luar Papua yang menentang kedudukan kolonial serta menguatkan kembali tuntutan untuk merdeka sebagai bangsa yang telah merdeka.
Menanggapi tuntutan ini negara justru menggunakan pendekatan keamanan dan militeristik. Terhitung dari pelanggaran HAM Berat Wamena Berdarah, Biak Berdarah, Paniai Berdarah dan sampai hari ini, operasi militer terus saja menciptakan kematian di Tanah Papua.
Selain pendekatan militeristik, negara juga menggunakan pendekatan hukum yang represif untuk membungkam gerakan perlawanan rakyat di Papua.
Salah satu bentuk pembungkaman adalah krminilasiasi terhadap aktivis Victor Yeimo, Juru Bicara Internasional KNPB dan juga juru bicara Internasinal (PRP). Victor Yeimo tidak melakukan tindakan yang membuat dirinya pantas untuk dipenjara.
Pengertian makar adalah melakukan penyerangan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dan Viktor Yeimo tidak melakukan penyerangan terhadap Jokowi.
Viktor Yeimo dan KNPB bukan penanggung jawab aksi rasisme pada tanggal 19 Agustus 2019 di Jayapura. Viktor Yeimo hadir memberikan orasi atas permintaan rakyat.
Viktor Yeimo tidak pernah menyeruhkan massa melakukan tindakan anarkis, maka pasal penghasutan tidak bisa diberikan pada Viktor, karena tidak ada tindakan pidana yang dilakukan atas permintaan Viktor. Dalam hal ini keempat pasal yang menjerat Viktor Yeimo terbukti telah gagal.
Upaya penangkapan terhadap Viktor adalah upaya kriminalisasi aktivis-aktivis di Papua yang telah dipetahkan oleh negara sebagai aktor-aktor dalam organisasi gerakan perlawanan di Papua.
Pasal makar dan penghasutan merupakan senjata penjajah untuk membungkam pejuang pro demokrasi dan pembungkaman terhadap perjuangan rakyat Papua yang melawan rasisme di Papua.
Rakyat Papua yang merasa harkat, martabat dan harga dirinya direndahkan dengan ujaran rasisme terhadap mahasiswa Papua pada tanggal 16 Agustus 2023 justru dikriminalisasi, ditangkap, dijadikan buronan dan ditembak.
Negara tidak pernah bertanggung jawab atas pembunuhan dan penangkapan diluar hukum, negara justru semakin masif melakukan serangan, teror dan operasi militer di Papua.
Victor Yeimo sudah menjalani 33 kali proses persidangan. Dari 5 orang saksi fakta yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum, tidak ada saksi yang bisa memberatkan posisi Viktor bahkan tidak ada saksi yang mampu membuktikan tudingan makar dan penghasutan terhadap Viktor dalam aksi tanggal 19 Agustus 2019.
Sementara dari 4 saksi ahli yang dihadirkan oleh penasehat hukum yang tergabung dalam Koalisi Pembela Hukum dan HAM Papua telah memberikan kesaksian menjelaskan Victor Yeimo tidak bersalah.
Terutama saksi ahli pidana Dr. Amira Paripurna yang menjelaskan bahwa rasisme dan aksi protes anti rasisme dijamin oleh hukum dan undang-undang Indonesia karena ini bagian dari menyampaikan pendapat dimuka umum.
Sementara tuntutan Referendum dan yel-yel Papua Merdeka adalah ekspresi politik yang dijamin oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dari semua fakta persidangan telah terbukti Victor Yeimo sedang dikriminalisasi oleh negara dengan sentimen politik untuk membungkam Victor Yeimo sebagai aktivis gerakan.
Ini upaya pembungkaman terhadap gerakan dan aktivis gerakan supaya kepentingan Indonesia seperti keberlanjutan Otonomi khusus jilid II, Pemekaran 6 provinsi dan penghancuran sumber daya alam terus terjadi.
Oleh karena itu, kami yang tergabung dalam Solidaritas Rakyat Papua Melawan Rasisme RPMR menyampaikan peryataan sikap sebagai berikut :
1. Mendesak Presiden Republik Indonesia, Kapolri, Polda Papua Kejaksaan Tinggi Papua segera bebasakan Victor Yeimo tanpa syarat, untuk memberikan rasa keadilan terhadap rakyat Papua sebagai korban Rasisme.
2. Meminta kepada Majelis Hakim yang mengadili Victor Yeimo sebagai korban rasisme secara bijak memutuskan vonis bebas berdasarkan fakta persidangan.
3. Hentikan kriminalisasi, diskriminasi penegakkan hukum, intimidasi, teror penangkapan dan pembungkaman terhadap aktivis pro demokrasi dan aktvis HAM di Indonesia dan di Papua.
4. Segera bebaskan seluruh tahanan politik di tanah Papua.
5. Meminta dengan tegas kepada Negara untuk menghentikan kriminalisasi tehadap aktvis HAM Haris Aszar dan Fatiah.
6. Hentikan kekerasan terhadap rakyat sipil di kabupaten Nduga, kabupaten Puncak Papua, Intan Jaya, Yahukimo dan wilayah konflik lainnya.
7. Segera tarik Militer organik dan non organik dari Papua.
8. Medesak Dewan HAM PBB, palang merah Internasional, jurnalis internasional independen masuk ke Papua untuk melakukan investigasi pelanggaran HAM dan meliput realitas kekerasan di Papua.
9. Hentikan semua praktek rasisme di tanah Papua.
Demikian pernyataan sikap ini, dibuat atas nama keadilan dan kemanusiaan di tanah Papua. Muli Kogoya (Koorlap Umum), Nain Wakla (Wakorlap), dan Penanggung Jawab Rakyat Papua Melawan Rasisme (PMR) Wene Kilungga dan Kenias Pakage.
Laporan: Boma Sepi