PAPUA PEGUNUNGAN,Lima Kepala Suku dari Welesi dan Wouma, memberikan persetujuan, menandatangani dokumen surat penyerahan, menghibahkan Tanah secara cuma-cuma kepada Pemerintah untuk pembangunan Kantor Gubernur Propinsi Papua Pegunungan.
Langkah ini menurut saya sangat maju, jauh melampaui pemikiran anak-anak mereka, mahasiswa Welesi, Walac, Napua dan Pelewaga (Wewanap).
Kelima Kepala Suku Wilayah Welesi, Walaik, Napua dan Pelewaga (Wewanap) berfikir jauh kedepan, nasib anak-anak mereka, kelak selesai study harus kemana, jadi beban, selama ini selalu jadi pengangguran.
Hal ini sangat paradox dengan pikiran mahasiswa Wewanap. Jangankan bisa diajak berfikir mempersiapkan generasi Papua 20-30 tahun kedepan, untuk berfikir dirinya sendiri, kerja dimana, bagaimana mengaktualisasikan dirinya sendiri tidak tahu, tidak pikir, tidak ingat, kelak sarjana.
Status boleh mentereng,mahasiswa, tapi pikiran masih kampungan, primitive, ketinggalan zaman, belum merdeka-bebas, dogmatis, irrasional, tidak logis.
Tampil asal beda, asal bunyi, tanpa pikir, asal tolak, tanpa kajian, tidak rasional, tidak paham, tidak tahu, tidak mau tahu, tidak berusaha tahu. Berbeda dari Orang Tua mereka, Lima Kepala Suku Welesi dan Wouma.
Cara berfikir Lima Kepala Suku Walesi dan Wouma jauh kedepan, melampui pikiran mahasiswa Wewanap. Jangkauan prediksi mereka untuk masa depan anak-cucu akan seperti apa melampaui pikiran anak-anak mereka.
Intelektualitas mereka mumpuni, daya pikir mapan, sangat innovative dan progressive berorientasi modernisme, rational, logis, predictable akan tantangan perubahan zaman, mampu membaca tantangan anak-cucu generasi 20-50 tahun kedepan.
Tidak seperti hari ini, 20-50 tahun lalu beda, demikian 20-50 tahun akan datang, dunia terus berubah, hari ini ada tidak akan ada lagi, yang dulu ada, sudah tidak ada lagi, yang akan ada belum ada hari ini, selalu berubah dan terus begitu.
Orangtua Welesi (Lima Kepala Suku) penandatangan penyerahan Tanah Adat cuma-cuma kepada Pemerintah menyadari itu, oleh karenanya mereka tidak mau anak cucu mereka jadi korban perubahan (defrivation).
Harapan penyerahan Tanah lokasi Kantor Gubernur bertujuan untu, anak-anak mereka, anak-cucu mereka kelak mengambil peran aktive sebagai subyek perubahan bukan obyek perubahan.
Tujuan mereka menyerahkan lokasi agar anak-cucu mereka jadi korban, marginal, devrivation, alienation dari habitat dikampung halaman mereka sendiri seperti saat ini, jadi penontonan, ratusan sarjana putra-putri Welesi hanya pengangguran.
Mereka menyadari betapa urgen pengusaan ilmu pengetahuan (science) dan technology itu, sangat vital untuk menaklukkan dunia yang terus berubah tanpa henti, anak-cucu harus dipersiapkan dengan bekal ilmu pengetahuan modern seiring perkembangan zaman mengikuti irama perubahan.
Kesimpulannya lima (5) Kepala Suku Welesi lebih cerdas dari pemikiran primitive, tidak logis, tidak rasional, ketinggalan zaman seperti mahasiswa Wewanap yang menolak wacana penyerahan Lokasi Kantor Gubernur.
Wacana penolakan adalah wacana orang-orang tidak waras secara pemikiran masih berorientasi pemikiran primitive, ketinggalan zaman. Tidak sanggup memprediksi perubahan kedepan, kurang logis, irasional akhirnya ketinggalan.
Salut dengan Orangtaua Welesi mereka membuktikan bahwa keinginan mereka bulat dan diterima, sesuatu baik dan benar selalu berhasil, diterima semua pihak karena memang benar dan baik, itulah orangtua di Welesi sudah membuktikan dan itu terbukti Kantor Gubernur resmi sudah ditetapkan akan dibantu di atas Tanah hibah orangtua Welesi.
Sumber:Ismail Asso: bukan siapa-siapa bukan apa-apa hanya seorang pengamat dari Kampung Assolipele, Welesi.