Jakarta, DetikNewstv.com- Niat bersikap reaktif dan konfrontatif melalui narasi sentimen negatif, yang dibungkus atas nama argumentasi hukum sebagai keterangan pihak terkait dipertunjukkan oleh Daniel W Nirahua selaku kuasa hukum Mirati Dewaningsih di sidang Mahkamah Konstitusi, untuk tujuan menyudutkan Pemohon dan Termohon justru terbalik menjadi kontraproduktif, karena yang bersangkutan gugup dan gagap saat menjawab pertanyaan majelis hakim. kAta paman nurlette kepada wartawan (16/5/24)
Pasalnya, ketika kuasa hukum pihak terkait ini sebelum giliran membacakan keterangannya, terlebih dahulu ditanya oleh majelis hakim Saldi Isra, yang memimpin Panel 2 MK bahwa "apakah saudara sudah membaca PMK Nomor 3 ? Tanya majelis hakim kepada kuasa hukum. Kemudian dijawab sudah membaca yang mulia!, setelah itu, ditanyakan lagi bagaimana menurut saudara, jika keterlambatan tenggang waktu perbaikan materi permohonan pemohon ? Jawaban kedua bersangkutan mengundang tawa para pihak dan majelis hakim dalam ruang persidangan, karena menyatakan "gugur" yang mulia. Katanya,.
Menurut kuasa hukum Pemohon Paman Nurlette, bahwa pertanyaan dasar semacam itu, sudah harus dipahami dengan baik oleh kuasa hukum pihak terkait melalui rajin membaca sebelum melangkah ke MK, agar tidak salah menjawab. Berdasarkan PMK nomor 3 tahun 2023 tentang tata beracara dalam perkara PHPU anggota DPD, secara implisit mengatur perihal apabila tenggang waktu perbaikan materi permohonan pemohon melewati 3 x 24 jam, maka kembali pada materi permohonan awal, bukan "gugur" sebagaimana jawaban kuasa hukum Mirati Dewaningsih. Ujarnya.
Nurlette juga menjelaskan, secara normatif keterlambatan tenggang waktu perbaikan materi permohonan pemohon sudah diatur dalam norma Pasal 14 ayat (3) sebagaimana termaktub secara eksplisit di PMK nomor 3 tahun 2023, yang menyebutkan bahwa "Dalam hal Pemohon menyampaikan perbaikan dan kelengkapan melewati tenggang waktu yang telah ditentukan, keterlambatan tersebut dicatat dalam HPKP3".
Hasil Pemeriksaan Kelengkapan dan Perbaikan Permohonan Pemohon, yang
selanjutnya disingkat (HPKP3), adalah hasil pemeriksaan yang ditandatangani oleh Panitera secara elektronik yang menjelaskan bahwa terhadap Permohonan Pemohon telah dilakukan pemeriksaan, yang selanjutnya akan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik.
Oleh sebab itu, "jawaban yang dilontarkan Daniel W Nirahua selaku kuasa hukum mengkonfirmasikan belum membaca PMK Nomor 3 tahun 2023 secara komprehensif, tetapi merasa tau padahal menjadi gugup saat ditanya majelis hakim. Hal ini, tentunya telah mempermalukan dirinya dan Mirati Dewaningsih sebagai pihak terkait". Demikian dijelaskan oleh Paman Nurlette, selaku kuasa hukum Pemohon kepada media ini (Rabu 15 Mei 2024), sebagai tanggapan atas pemberitaan salah satu media online di Maluku terkait "Dugaan Kecurangan Nono Sampono Dibongkar di Sidang Mahkamah Konstitusi."
Menurutnya, menganalisis secara kritis, objektif, rasional, dan ilmiah terhadap bangunan argumentasi hukum, yang dikonstruksikan oleh pihak terkait sangat rapuh, dan justru melemahkan posisi mereka sendiri. Sebab, substansi materi keterangan yang dibacakan oleh kuasa hukum Mirati Dewaningsih, seakan akan melegitimasikan eksistensinya seperti "pihak pemohon" padahal mereka sejatinya adalah posisi sebagai "pihak terkait".
Alasan lain yang mengindikasikan pihak terkait belum membaca PMK Nomor 3 tahun 2023 tentang tata beracara dalam perkara PHPU anggota DPD adalah, Ketidakcocokan penyusunan materi keterangan pihak terkait pada bagian "perihal" oleh kuasa hukum berbeda dengan sistematika yang ada di PMK. Selain itu juga pada versi yang disusun pihak terkait tidak mencantumkan frasa "calon anggota DPD provinsi" secara eksplisit padahal dalam PMK dianjurkan.
Kemudian pada bagian "identitas pihak terkait" yang disusun oleh kuasa hukum dalam materi keterangannya berbeda dengan sistematika yang ada di PMK nomor 3 tahun 2023. Masih di bagian yang sama pihak terkait, juga tidak mencantumkan nomor surat kuasa khusus, sebagaimana diamanatkan dalam PMK tersebut.
Narasi pada bagian sebelum masuk pada eksepsi yang di susun oleh pihak terkait tidak sesuai dengan sistematika pada PMK. Kesalahan lain, misalnya "dalam pokok permohonan" di bagian persandingan perolehan suara di kabupaten/kota pada tabel perolehan suara posisi pihak terkait dan Pemohon terbalik, serta dalam tabel tersebut tidak mencantumkan nama calon sesuai sistematika penyusunan dalam PMK.
Berdasarkan sistematika dalam PMK, mestinya pihak terkait menyandingkan dan menjelaskan perolehan suara menurut Pihak Terkait disertai kontra alat bukti terkait dengan permohonan yang diajukan oleh Pemohon hanya pada kabupaten/kota tertentu, tetapi hal itu tidak digambarkan dengan jelas oleh pihak terkait pada tabel yang dimaksud.
Selanjutnya, di bagian akhir materi pada pokok permohonan angka 1 pihak terkait menyatakan bahwa: "menolak permohonan yang dimohonkan Pemohon untuk seluruhnya". Frasa diatas tidak sesuai dengan narasi sistematika dalam PMK pada bagian petitum. Dalam PMK frasa petitum harus disusun sebagai berikut : "PETITUM, Dalam Eksepsi. Menerima eksepsi Pihak terkait: Dalam Pokok Permohonan: 1. Menyatakan Permohonan Pemohon ditolak atau tidak dapat diterima dan seterusnya. Bukan frasa sebagaimana yang dicantumkan oleh kuasa hukum dalam materi keterangan pihak terkait.
"Kekeliruan penyusunan bangunan argumentasi hukum keterangan pihak terkait diatas bisa berakibat fatal, karena menyangkut asfek prosedural-formal. Kendati demikian, semua itu tergantung pada penilaian majelis hakim. Tetapi, tujuan menguraikan alasan-alasan tersebut, sebagai fakta penyusunan materi keterangan pihak terkait tidak mengikuti pedoman PMK Nomor 3 tahun 2023. Dan hal itu, disinyalir telah diketahui sebelumnya oleh majelis hakim, yang ditandai saat mengawali keterangan pihak terkait dengan terlebih dahulu melontarkan pertanyaan kritis kepada Daniel W Nirahua selaku kuasa hukum." kata Nurlette.
Sementara pada asfek materiil, pihak terkait dalam persidangan tidak membenarkan atau meragukan pleno hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara di kurang lebih 15 kecamatan. Ini sama halnya tidak mengakui angka perolehan suara Miranti Dewaningsi berjumlah 85.690, yang telah disahkan oleh termohon atau KPU sebagai satu kesatuan dan tidak bisa di lepas pisahkan dari hasil pleno beberapa kecamatan yang diragukan itu.
Pihak terkait berasumsi, bernarasi dan beropini di sidang MK bahwa adanya dugaan kecurangan oleh pemohon pada 389 TPS yang tersebar di 15 kecamatan dan 6 kabupaten/kota di Maluku. Dari total penggelembungan sebanyak 7759 suara, tetapi oleh termohon (KPU) telah dilakukan koreksi sebanyak 222 TPS sehingga menjadi 4308 suara, lanjut kuasa hukum, masih terdapat kecurangan pada 167 TPS dengan penggelembungan suara 3451 suara yang belum dikoreksi.
Narasi argumentasi hukum pihak terkait ini, sangat kabur dan tidak jelas, sebab terlepas dari benar atau tidak melakukan koreksi terhadap 222 TPS, tetapi mengapa pada saat penghitungan perolehan suara pada level pleno berjenjang di tingkat kecamatan, dan kabupaten tidak diajukan keberatan atau protes terhadap 167 TPS tersebut, yang dinilai belum dikoreksi ? Sementara hal itu, diduga telah diketahui secara pasti oleh pihak terkait. Artinya, pihak terkait tidak konsisten karena pada persidangan MK menuduh adanya dugaan kecurangan, tetapi saat pleno hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara tidak melakukan koreksi.
Inkonsistensi pihak terkait dilihat saat menyajikan data berbeda dengan Termohon dan Bawaslu di persidangan, serta tidak mengakui hasil pleno rekapitulasi penghitungan perolehan suara secara berjenjang di 15 kecamatan. "Tetapi, di "petitum" dalam pokok perkara pada poin 2, menyatakan Keputusan KPU nomor 360 tahun 2024 tentang penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara Nasional 2024 sepanjang daerah pemilihan Provinsi Maluku telah benar. Dengan demikian, terjadi "kontradiksi interminus" antara petitum dan penjelasan persandingan perolehan suara." Pungkas Nurlette.
Menurut ketentuan norma Pasal 29 ayat (5) sebagaimana termaktub secara eksplisit dalam PMK nomor 3 tahun 2023 tentang tata beracara dalam perkara PHPU anggota DPD menyebutkan bahwa "Keterangan Pihak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disusun mengacu pada pedoman penyusunan sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini."
Namun, fakta di persidangan Mahkamah Konstitusi materi keterangan pihak terkait, pada bagian tertentu tidak disusun berdasarkan pedoman PMK tersebut. Hal ini, terlihat saat persidangan kuasa hukum Mirati Dewaningsih membaca keterangan sebagai pihak terkait, bukan dalam posisi memberikan tanggapan atau bantahan terhadap dalil Pemohon mengenai kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon, dan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon. Tetapi membacakan hasil penghitungan suara menurut versinya sendiri diluar konteks materi permohonan pemohon, dan jawaban termohon.
Kuasa hukum Mirati Dewaningsih, menuduh beberapa pihak Termohon berkonspirasi dan mendapatkan sejumlah uang, untuk penggelembungan suara Pemohon adalah dalil argumentasi yang sumir dan tidak mendasar. Sebab, jika hal itu diketahui benar terjadi, mestinya dilaporkan kepada Bawaslu atau sentra Gakkumdu pada saat penghitungan berlangsung di level kecamatan dan kabupaten, sehingga atas dasar itulah bisa ajukan sebagai bukti di MK bahwa benar adanya tuduhan tersebut, tetapi hal itu tidak dilakukan. Kata Nurlette.
"Selain itu, sebagai pihak terkait semestinya, membantah dan menanggapi dengan misalnya menyatakan terhadap dalil Pemohon mengenai perbedaan suara oleh Pemohon, menurut pihak terkait adalah sebagai berikut : 1. Bahwa terjadinya pengurangan perolehan suara Pemohon di TPS, kecamatan, kabupaten sebagaimana didalilkan sebanyak 1120 suara adalah tidak benar (dibuktikan dengan alat buktinya). 2. Bahwa terjadinya penambahan perolehan suara kepada pihak terkait di TPS, kecamatan dan kabupaten sebagaimana didalilkan sebanyak 459 suara adalah tidak benar (dibuktikan dengan alat buktinya)." Kata Nurlette.
"Tetapi, pada fakta dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi pihak terkait, menyampaikan materi keterangan diluar konteks dan tidak membantah "fundamentum petendi" secara jelas sebagaimana dimaksud diatas. Dengan demikian, materi keterangan pihak terkait, yang telah dibacakan oleh kuasa hukum Daniel W Nirahua telah mempermalukan Mirati Dewaningsih di persidangan Mahkamah Konstitusi. Tegas Nurlette.
Oleh sebab itu, menurut hemat kuasa hukum Pemohon dari aspek prosedural-formal maupun materiil, kemungkinan keterangan pihak terkait akan dinilai tidak sesuai oleh majelis hakim MK. Apalagi kuasa hukum saat di persidangan terkesan cenderung membangun narasi sentimen negatif dan konfrontatif terhadap Pemohon dan Termohon, dengan orientasi hanya untuk mencari sensasi dan pencitraan semata, bukan mencari esensi kebenaran dan citra positif sebagai pihak terkait.
( Tim Redaksi )