Jakarta, DetikNewstv.com-Menanggapi keterangan saudari Dewinta Isra Wally selaku kuasa hukum Ayub Tatiratu, sebagai pelaku dugaan tindak pidana perusakan rumah kos-kosan dan pengancaman pembunuhan di salah satu media online, yang menyebutkan bahwa “Kami akan melapor balik Siti Hitimala istri dari Kopda Nirwan Umasugi dengan dugaan laporan mengetahui adanya tindak pidana tapi tidak melaporkannya kepada pihak yang berwajib”.
Lanjut Dewinta Isra Wally pada media tersebut "Dengan fakta yang ada itulah maka kami mendesak penyidik Polres Ambon untuk memeriksa Siti Hitimala dalam kasus ini lantaran diduga memberikan keterangan bohong atau mengetahui adanya suatu tindak pidana namun tidak melaporkannya".
Pernyataan tersebut mengkonfirmasikan yang bersangkutan tidak paham kronologis masalah. "Saran kami kepada saudari Dewinta Isra Wally, agar perlu membaca KUHPidana dan KUHAP secara tuntas dan harus belajar lagi, sehingga mengerti esensi masalah serta tidak terkesan memfitnah, memberikan keterangan palsu dan tidak paham kronologis kasus". Demikian diungkapkan oleh Sutriono Mohamadi selaku kuasa hukum Siti Hitimala kepada media ini (Sabtu 11 Maret 2024).
Menurutnya, jika orang yang mengetahui suatu tindak pidana, tapi tidak melaporkan sebagai saksi merupakan sesuatu yang hak, kecuali terkait kasus permufakatan jahat untuk membahayakan kepentingan umum dan jiwa barulah menjadi kewajiban, tetapi sanksinya tidak diatur dalam KUHAP.
"Sementara dalam konteks kasus ini tidak masuk dalam kategori kasus-kasus diatas, karena terjadi perkelahian antara Ayub Tatiratu dengan suami ibu Siti Hitimala diluar dugaan, dan tidak ada perencanaan sebelumnya. Apalagi kasus tersebut memiliki hubungan kausalitas atau sebab akibat, dan pemicunya dilakukan oleh Ayub Tatiratu dalam kondisi mabuk," Jelas Sutriono.
Menurut ketentuan norma Pasal 108 ayat (1) KUHAP mengatur tentang setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan/atau menjadi korban tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan/atau penyidik baik lisan maupun tertulis.
Dengan demikian, berdasarkan klausul norma pasal di atas, maka menurut Sutriono Mohamadi kuasa hukum Siti Hitimala, melaporkan tindak pidana hanya merupakan hak. Namun, pada ayat selanjutnya disebutkan setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik.
Walaupun melapor merupakan suatu hak dan kewajiban, namun dalam KUHAP sekali lagi tidak mengatur sanksi jika seseorang tidak melapor telah terjadinya tindak pidana. "Oleh sebab itu, keinginan saudari Dewinta Isra Wally selaku kuasa hukum pelaku Ayub Tatiratu, untuk melaporkan klien kami Siti Hitimala atas dasar salah satu alasan dianggap mengetahui suatu tindak pidana, tapi tidak melaporkan menunjukkan tidak paham hukum dan harus belajar lagi", tutur Sutriono
Terlepas dari ibu Siti Hitimala sebagai saksi, yang berhak melaporkan atau tidak terjadi perkelahian suaminya dengan Ayub Tatiratu, tetapi perlu dipahami yang namanya konflik antara orang sipil dengan anggota TNI, harusnya dilaporkan kepada pihak POMDAM setempat, bukan kepada polisi sebagimana dipahami oleh kuasa hukum pelaku. Konsepsi dasar semacam ini sudah harus dipahami oleh saudari Dewinta Isra Wally, yang notabenenya punya suami juga anggota TNI, tapi faktanya tidak paham.
"Sederhananya, jika posisi saudari Dewinta Isra Wally dengan suami, yang notabenenya anggota TNI juga berada pada posisi Ibu Siti Hitimala dan suaminya. Misalnya, rumah kalian didatangi oleh orang mabuk tanpa mengetahui masalah tiba tiba dia melakukan perusakan. Dan tujuan datangi yang bersangkutan dengan itikad baik guna penyelesaian secara kekeluargaan, tetapi pelaku tidak mengakui perbuatannya dan melakukan perlawanan sehingga terjadi perkelahian dengan suaminya. Maka, pertanyaannya apakah Saudari Dewinta Isra Wally bisa berinsiatif melaporkan suami sendiri sebagai anggota TNI ke polisi ?" Tanya Sutriono.
Saudari Dewinta Isra Wally juga diduga menyebarkan fitnah dan tidak tau kronologis masalah secara baik dan benar. Pasalnya, yang bersangkutan memberikan keterangan palsu di salah satu media online bahwa ibu "Siti Hitimala yang adalah istri dari Kopda Nirwan Umasugi, diduga mengetahui perbuatan dugaan tindak pidana penganiyaan dan pengancaman dengan menggunakan senjata api (Pistol) yang dilakukan oleh suaminya."
Padahal yang menggunakan senjata api mainan atau pistol palsu sebagai upaya pembelaan diri disaat diancam oleh pelaku Ayub Tatiratu dan 2 rekannya menggunakan senjata tajam (parang dan linggis) adalah rekannya suami ibu Siti Hitimala, bukan Kopda Nirwan Umasugi sebagaimana difitnah oleh kuasa hukum pelaku. Oleh karena itu, keterangan Kuasa hukum Ayub Tatiratu diduga mengandung unsur fitnah, informasi palsu dan menunjukkan tidak paham kronologis masalah.
Selain Kuasa hukum, pelaku Ayub Tatiratu juga diduga memberikan keterangan palsu dan manipulasi hasil rontgen tgl 2 Maret guna diajukan sebagai alat bukti kepada pihak POMDAM untuk membenarkan kasus tersebut, yang baru terjadi pada tgl 27 Maret. "Itu artinya, hasil rontgen telah ada sebelum terjadi peristiwa perkelahian, inikan anomali dan lucu sekali. Kebohongan dan manipulasi tersebut, telah diketahui oleh pihak POMDAM dan kuasa hukum Kopda Nirwan Umasugi suami dari ibu Siti Hitimala," pungkas Sutrisno.
Laporan palsu merupakan suatu bentuk penyampaian berita, keterangan, ataupun pemberitahuan yang tidak benar atas suatu kejadian. Oleh karena itu, berkaitan dengan laporan palsu dapat dikenakan ancaman pidana sebagaimana ketentuan dalam norma Pasal 220 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan bahwa "Barang siapa memberitahukan atau mengadu bahwa telah dilakukan suatu perbuatan pidana, padahal mengetahui bahwa itu tidak dilakukan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan."
Sementara ketentuan norma Pasal 224 "jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka yang bersalah, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun."
Jadi, berdasarkan rumusan norma pasal 220 dan 224 KUHPidana sebenarnya, yang diduga memberikan keterangan palsu atau laporan palsu itu saudari Dewinta Isra Wally dan kliennya Ayub Tatiratu. Hal ini, karena kuasa hukum diduga memfitnah suami ibu Siti Hitimala Kopda Nirwan Umasugi yang menyatakan menggunakan senjata api, padahal rekannya menggunakan senjata api mainan atau pistol palsu.
( Tim/ Red )