Pelalawan, DetikNewstv.com-Pemuka adat desa Rantaubaru di bawah naungan Datuk Sati Diraja/ Batin Sibokol-Bokol kembali melaksanakan Syarahan Adat bagi anak kemenakan di balai Sibokol-Bokol Rantaubaru pada Sabtu malam (24/08).
Selain Datuk sati Diraja, kegiatan ini menghadirkan narasumber Syekh H Abdul Gani Dukud.
Selain dihadiri oleh anak kemenakan atau masyarakat Desa Rantubaru juga dihadiri Kepala Desa, Ketua BPD Rantaubaru dan para pemuka adat.
Pada kesempatan itu, Syekh H Abdul Gani Dukud yang dipandang salah seorang tua di Rantuabaru hari ini menyampaikan tentang sejarah desa Rantaubaru, mulai dari kampung asal, yaitu Dusun Tuo (Antau Santoghok), Malaka Kecil hingga ke Rantaubaru.
Menurut Buya Gani, begitu ia dipanggil bahwa Rantaubaru merupakan daerah perbatasan orang yang tidak membolehkan nikah sesuku dan membolehkan nikah sesuku.
“Adat istiadat di Rantaubaru banyak. Yang bisa saya tahu dimulai dari Datuk Sati Lajib, Imam Nujum, dan Bilal Ladi. Itulah penguasa Rantaubaru saat itu. Mereka itu kaya-kaya,” ungkap salah seorang Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah di esa Rantaubaru ini.
Menurut Syekh Gani, pada awalnya nenek mamak adat di Rantubaru hanya dua saja, yaitu Datuk Sati dan Datuk Sarikoto. Mereka ini mempunyai dubalang atau hulubalang. Hulubalang Datuk Sati adalah Datuk Majosindo sedangkan hulubalang Datuk Sarikoto adalah Datuk Paduko Momad.
“Hanya itulah pada awalnya. Namun semakin hari semakin berkembang. Maka diangkatlah dubalang tersebut menjadi mamak. Setelah dubalang tersebut menjadi mamak, maka diangkatlah dubalang lagi, seperti Panglimo Garang.
Ini pernah diemban oleh Panglimo Munap,” ungkapnya.
“Saya menganjurkan kepada kita semua, karena kini Tuk Sati kita ini banyak kegiatan. Bahkan sudah semakin meningkat, maka mari kita hargai.”
Lebih jauh Syekh Gani menjelaskan tentang prosesi nikah kawin di Rantaubaru pada masa dahulu.
Pada masa dahulu, mengenai nikah kawin ini prosesnya panjang dan unik, dan memakan waktu.
“Sebagai contoh, ketika kami menikah, setelah ijab kabul dilaksanakan, pengantin lelaki bermalam tiga hari di rumah pengantin perempuan. Setelah itu, pengantin perempuan dibawa bermalam pula ke rumah pengantin laki-laki.
Maksudnya, esok paginya diantar oleh anak-anak betino atau perempuan dengan membawa gulung tikar, yaitu tikar berlambak. Sekaligus dibekalkan periuk serta kuali,” jelas Buya Gani sambil tertawa kecil.
Menurutnya, pasa masa dahulu, sebelum menikah, seorang laki-laki diberi pesan oleh orangtuanya. “Yung, kalau mau nikah, maka periuk, kuali, lokar, dan sendok diperbini.
Alat penangkap ikan seperti pengilar, dan lukah diperbini. Maksudnya harus pandai menggunakan alat-alat itu. Itulah cara-cara orang dahulu mengingatkan anak mereka jika ingin hidup berumah tangga,” jelas Buya Gani.
“Tradisi ini dibuat lagi, elok juga. Tapi ingat, ini ada tingkatannya, misalnya helat mendirikan pusaka mamak, ini modelnya. Kalau nikah lebai berempat, begini pula. Maaf, kalau nikah tertangkap begini pula. Adat tak akan berubah, pakaiannya saja yang berubah,” pesan Buya Gani.
“Tentang model rumah kita dahulu berbeda dengan rumah kita sekarang. Sebagai contoh, kini yang termasuk rumah yang belum berubah itu adalah rumah Umak Tuk Sati kita ini.
Di rumah itu terdapat dinding tengah. Anak jantan hanya sampai di situ. Kalau mau ke belakang, anak jantan harus ada tata hormat. Tak bisa sembarangan masuk. Kini rumah kita sudah terbeloho atau melompong dan meluas saja ke belakang,” ungkapnya sambil tersenyum.
Menurut Buya Gani, selain tentang hal-hal di atas, masih terdapat lagi adat tradisi yang mesti diperhatikan, yaitu bela diri. “Silat belum kita kembangkan. Di Rantaubaru ini dahulu dihuni oleh orang bagak-bagak. Orangnya tahan cungkil mata, tahan pahat matanya. Itu karena mereka penunggu perbatasan syarak dan adat. Untuk itu, ke depan silat ini juga perlu kita kembangkan juga,” pesan Buya Gani.
Pada kesempatan itu, Buya Gani juga berpesan agar pemuka adat juga memikirkan program bagaimana menaikkan taraf ekonomi masyarakat atau anak kemenakannya.
Sementara Datuk Sati Diraja/ Batin Sibokol, Dr H Griven H. Putera menyampaikan tunjuk ajar dan pesan amanat kepada anak kemenakan agar mereka selalu memiliki prilaku yang mengandung nilai luhur yang membuat hidup di dunia menjadi orang bermarwah dan kembali ke alam baka memperoleh ridha Allah Swt, dan syurga menjadi tempat tinggalnya.
“Dalam hidup ini, orang tua-tua kita telah berpesan, di antaranya hidup mesti memegang amanah. Yaitu sifat setia memegang amanah, kokoh menyunjung sumpah, teguh memegang janji, tekun menjalankan tugas dan kewajiban, patuh menjalankan hukum dan undang-undang, taat menjalankan agama, dan sebagainya,” ungkap Tuk Sati.
“Selain itu kita perlu memiliki sifat tahu ‘kan bodoh diri. Sifat ini merupakan sifat menyadari segala kekurangan dan kelemahan diri sendiri, mengetahui cacat dan cela diri sendiri. Sifat ini akan mendorong kita untuk bersungguh-sungguh menutupi kekurangan dan kelemahan kita, memperbaiki segala kekeliruan dan kesalahan, serta memacu diri untuk berusaha sehabis daya menuntut dan mencintai ilmu pengetahuan serta menghormati ilmu dan kelebihan orang lain,” pesannya.
“Agar hidup bermarwah, kita juga mesti tahu menyimak dan pandai menyimpai. Yaitu sifat arif, bijaksana, tanggap dan cekatan dalam menilai sesuatu. Dalam ungkapan adat disebutkan. Arif menyimak kicau murai, arif menapis angin lalu, arif mendengar desau daun, arif menilik bintang di langit, arif menangkap kerlingan orang, bijak menepis mata pedang, bijak membuka simpul mati, pandai mengurung dengan lidah, pandai mengandang dengan cakap, pandai mengungkung dengan syarak, pandai menyimpai dengan adat, pandai mengikat dengan lembaga,” ungkapnya.
Pada kesempatan itu ia mengajak seluruh perangkat desa dan pemangku adat serta anak kemenakannya agar bersatu padu dan bekerjasama untuk kemajuan pembangunan desa Rantaubaru ke depan, terutama pembangunan bidang adat budaya yang sedang ia rancang dan laksanakan.
(zur)