Langkat, detikNewstv.com -Tradisi turun-temurun kerajinan atap nipah di Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, terancam punah.
Selain tak miliki regenerasi produksi, Atap Nipah ini kalah bersaing dengan atap Seng dan Multiroof pabrikan.
Menurut salah seorang pengrajin atap nipah di Dusun Phanton, Desa Sei Siur, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sarbiah (55) kepada *detiknewstv.com* sudah puluhan tahun dirinya menggeluti kerajinan atap nipah ini.
Ilmu dalam merangkai daun nipah menjadi atap ini didapat dari orangtua dan keluarganya.
Namun, saat ini tidak ada-anak muda yang mau menggeluti kerajinan atap nipah, dengan dalih klasik, bahkan bayaran untuk pembuatan atap nipah sangat kecil.
Setiap lembar atap nipah, dihargai se-harga Rp2500/lembarnya. Paling banyak, dalam sehari hanya dapat 100 lembar atap nipah.
Artinya, pendapatan maksimal pengrajin atap nipah hanya Rp30 hingga Rp50 ribu upahnya. "Susah. Lihat ajalah saat ini zaman modern ini.
Mana ada anak muda zaman sekarang yang mau mengolah nipah. Gengsi katanya," ujar perempuan berstatus pekerja janda ini.
Pengrajin lainnya, Herman (65) mengatakan, kebutuhan akan atap nipah semakin menurun.
Pasalnya, atap nipah kalah bersaing dengan seng dan atap multiroof.
Saat ini, kata dia, atap nipah digunakan warga untuk membuat kandang ternak dan pondokan.
"Untuk saung-saungan. Atau biasanya untuk kandang ayam dan pondokan dirumah. Kalau dulu kan rumah juga pakai atap nipah. Sekarang mana ada seperti ini pasti di era zaman modern saat ini sudah pakai seng atau multiroof semua," katanya kepada *detiknewstv.com*
Dia menerangkan, atap nipah bisa bertahan maksimal 3 hingga 5 tahun pakai.
Sedangkan seng atau multi pabrikan lebih tahan lama.Meski begitu, dia yakin permintaan masyarakat terhadap atap nipah bakal kembali meningkat.
Meski kalah dari sisi ketahanan dengan Seng dan Multiroof pabrikan sebagian masyarakat masih memilih atap nipah karena memiliki ciri khas.
"Saya tetap yakin, bakal banyak permintaan terhadap atap nipah ini. Karena sekarang mulai ada masyarakat yang dalam membangun rumahnya dengan daun Nipah," pungkas Herman (65) warga dusun phanton desa Sei Siur kecamatan Pangkalan Susu kepada *detiknewstv.com*
Di karena menggunakan daun Nipah rumah lebih dingin dan terkesan kembali ke zaman dahulu kala.
Terpisah daun nipah sebagai bahan baku membuat atap saat ini semakin susah dicari karena areal hutan mangrove banyak yang sudah beralih fungsi.
Semakin mengecilnya luas hutan, mengancam mata pencarian warga.
Hasil kerja keras komunitas warga pesisir ini hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Meski hasilnya minim, tapi pekerjaan ini harus dilakukan nelayan demi menyambung hidup.
Saat ini, potensi daun nipah jauh berkurang akibat alih hitam (konversi) hutan mangrove.
Ratusan hektar hamparan hutan mangrove di daerah pesisir ini telah berubah menjadi areal kebun sawit.
Hutan yang dulunya menjadi salah satu sumber mata pencaharian bagi komunitas nelayan, kini kondisinya memprihatinkan.
Lahan nelayan mencari nafkah semakin terancam akibat keserakahan oknum investor mayoritas pengusaha bermata cipit.
Beberapa nelayan kepada *detiknewstv.com* mengatakan, dampak dari kerusakan hutan tidak hanya dirasakan nelayan pencari nipah, tapi juga para nelayan pencari ikan, udang dan kepiting.
Perkembangbiakan biota laut seperti udang, ikan dan kepiting menurun drastis dalam sepuluh tahun terakhir.
“Perjuangannya untuk memenuhi kebutuhan hidup terasa semakin berat, sebab potensi hasil laut jauh berkurang karena ekosistem pesisir kini telah rusak akibat alih fungsi hutan,” kata Yusuf kepada *detiknewstv.com*
Menurut dia, ratusan paluh telah dibendung untuk perluasan areal perkebunan. Padahal, lanjutnya, keberadaan paluh di sepanjang garis pantai sebagai tempat biota laut bertelur untuk proses perkembangbiakan.
( JP)