BRANDAN, DetikNewstv.com-Warga Desa Lubuk Kertang Kecamatan eeee Brandan Barat protes pembangunan tambak garam yang dinilai telah merusak kawasan hutan bakau (mangrove) tepatnya di jalur register 8L di Kabupaten Langkat Sumatra Utara.
“Pembebasan lahan untuk pembangunan tambak garam di Desa Lubuk Kertang telah menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang luar biasa terutama di dalamnya mengorbankan hutan mangrove (bakau),” kata salah seorang warga setempat kepada detiknewstv.com.
Menurut dia, model pembebasan lahan dilakoni oleh pihak pengelola berinisial ER-SH (Eldin Rusli SH) ini telah mendapat protes dari warga di sekitar kawasan industri garam maupun di luar daerah.
Hal itu karena tambak dinilai tidak memberikan dampak ekonomis bagi rakyat serta telah merusak lingkungan hutan bakau.
“Seperti di Desa Lubuk Kertang itu, masyarakat semuanya tolak semua karena hutan mangrove yang berfungsi untuk mencegah abrasi justru dikorbankan untuk tambak garam,” katanya.
Ia mengatakan, dampak lain yang ditimbulkan dari pembangunan pengelolaan garam ini seperti hilang mata pencaharian masyarakat setempat.
Masyarakat pemilik lahan kecil di sekitar lokasi pembangunan juga terkena dampak kerusakan lingkungan, seperti sumber air yang mengering, gagal panen, serta abrasi habisnya mata pencarian nelayan tradisional di Desa Lubuk Kertang Kecamatan Brandan Barat.
Pihaknya meminta Pemerintah dinas kehutanan Provinsi Sumatra Utara dan Kabupaten langkat maupun pihak terkait agar bertanggung jawab terhadap segala kerusakan lingkungan di kawasan tersebut.
Terpisah, pengamat lingkungan Safril SH, hanya bakal menjadi pekerja kasar pada perusahaan khususnya masyarakat nelayan tradisional pesisir bibir pantai.
Pemprov Sumatra Utara dan Kabupaten Langkat, pinta Safril SH, wajib mengantisipasi dampak kerusakan lingkungan melalui industri garam di Desa Lubuk Kertang Kecamatan Brandan Barat.
“Kesejahteraan ekonomi sebagai dalil indrustrialisasi pada kenyataannya tidak mampu menyentuh lapisan masyarakat yang terpinggirkan,” sebut Safril SH .
Lanjut Safril SH, pihak pengelola telah melanggar UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU No.41/1999 tentang Kehutanan dan UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Penulis : Joko. P